Hukum Internasional
Pengertian Hukum internasional
Hukum internasional adalah Sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang mengatur tentang perilaku yang harus di taati dalam hubungan-hubungan antar mereka satu dengan yang lainnya, serta yang juga mencakup: Organisasi Internasional, hubungan antar Organisasi Internasional satu dengan lainnya, hubungan peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara, atau negara-negara, dan hubungan antar organisasi internasional dengan individu atau individu-individu.
Peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities)sepan jang hak-hak dan kewajiban –kewajiban indivi du dan subyek bukan negara ter sebut bersang kut paut dengan masalah internasional.
Sumber-sumber hukum internasional
a) Perjanjian-Perjanjian Internasional
b) Hukum Kebiasaan Internasional
c) Prinsip-prinsip Umum Hukum
d) Keputusan-keputusan Peradilan
Teori hukum internasional
Teori Hukum Alami
Ajaran hukum alam mempunyai pengaruh yang besar atas hukum internasional sejak permulaan pertumbuhannya. Ajaran ini yang mula-mula mempunyai ciri-ciri keagamaan yang kuat, untuk pertama kalinya dilepaskan dan hubungannya dengan keagamaan itu oleh Hugo Grotius. Hukum alam diartikan sebagai hukum ideal yang berdasarkan atas hakekat manusia sebagai makhluk yang berakal atau kesatuan kaedah-kaedah yang diilhamkan alam pada akal manusia
Perkataan negara-negara itu terikat atau tunduk pada hukum internasional dalam hubungan antara mereka satu sama lain karena hukum internasional itu merupakan bagian dan pada hukum yang lebih tinggi yaitu “hukum alam”.
Teori Kehendak Negara
Aliran mi mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional itu atas kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional. Menurut mereka pada dasarnya negaralah yang merupakan sumber segala hukum dan hukum internasional itu mengikat karena negara-negara itu atas kemauan sendiri mau tunduk pada hukum internasional. Aliran ini menyadarkan teori mereka pada falsafah Hegel yang dahulu mempunyai pengaruh yang luas di Jerman. Salah seorang yang paling terkemuka dan aliran ini adalah George Jellineck yang terkenal dengan “Selbst-limitation-theonie”-nya. Seorang pemuka lain dan aliran ini adalah Zorn yang berpendapat bahwa hukum internasional itu tidaklah lain dan pada hukum tata negara yang mengatur hubungan luar suatu negara. Hukurn Internasional bukan suatu yang lebih tinggi yang mempunyai kekuatan mengikat diluar kemauan negara
Kelemahan teori-teori ini adalah bahwa mereka tidak dapat menerangkan dengan menemuaskan bagaimana caranya hukum internasional yang tergantung pada kehendak negara-negara dapat mengikat negara-negara itu. Teiepel berusaha untuk membuktikan bahwa hukum internasional itu mengikat bagi negara-negara, bukan karena kehendak mereka satu persatu untuk terikat melainkan karena adanya suatu kehendak bersama, yang lebih tinggi dan kehendak masing-masing negara, untuk tunduk pada hukum internasional. Triepel mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada kehendak negara tetapi membantah kemungkinan suatu negara melepaskan dirinya dari ikatan itu dengan suatu tindakan sepihak.
Teori Madzhab Weina
Suatu norma hukumlah yang merupakan dasar terakhir dari pada kekuatan mengikat dan pada hukum internasional. Demikianlah pendirian suatu aliran yang terkenal dengan nama Madzhab Weina. Menurut madzhab ini kekuatan-kekuatan mengikat suatu kaedah hukum internasional didasarkan suatu kaedah yang lebih tinggi yang pada gilirannya didasarkan pula pada suatu kaedah yang lebih tinggi lagi dan demikian seterusnya. Pada puncaknya kaedah-kaedah hukum dimana terdapat kaedah dasar yang tidak dapat lagi dikembalikan pada suatu kaedah yang lebih tinggi, melainkan harus diterima adanya sebagai suatu hypothese asal yang tidak dapat diterangkan secara hukum.
Ajaran madzhab Weina ini mengembalikan segala sesuatunya kepada suatu kaedah dasar, memang dapat menerangkan secara logis dari mana kaedah-kaedah hukum internasional itu memperoleh kekuatan mengikatnya akan tetapi ajaran ini tidak dapat menerangkan mengapa kaedah dasar itu sendiri mengikat. Dengan demikian maka seluruh sistem yang logis tadi menjadi tergantung-gantung di awang-awang jadinya. Sebab tak mungkin persoalan kekuatan mengikat hukum internasional itu disandarkan atas suatu hypothese. Dengan pengakuan bahwa persoalan kaedah dasar merupakan suatu pensoalan di luar hukum (metayunidis) yang tidak dapat diterangkan, maka persoalan mengapa hukum internasional itu mengikat dikembalikan kepada nilai-nilai kehidupan manusia diluar hukum yakni rasa keadilan dan moral.
Teori Aliran Madzhab Perancis
Madzahab Perancis dengan pemuka-pemukanya terutama Fauchile, scelle dan Duguit mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional seperti juga segala hukum pada faktor-faktor biologis, sosial dan sejarah kehidupan manusia yang mereka namakan fakta-fakta kemasyarakatan yang menjadi dasar. Menurut mereka persoalannya dapat dikembalikan pada sifat alami manusia sebagai makhluk sosial, hasratnya untuk berabung dengan manusia lain dan kebutuhannya akan solidaritas. Kebutuhan dan naluri sosial manusia sebagai orang seorang menurut mereka juga dimiliki oleh bangsa-bangsa. Jadi dasar kekuatan mengikat hukum (internasional) terdapat dalam kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu perlu mutlak bagi dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup bermasyarakat.
Teori Positivisme
Pada teori ini kekuatan mengikatnya hukum internasional pada kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional. Hukum internasional itu sendiri berasal dan kemauan negara dan berlaku karena disetujui oleh negara. Kelemahan dari teori ini adalah tidak dapat menjelaskan jika ada negara yang tidak setuju apakah hukurn internasional tidak lagi mengikat, tidak dapat menjelaskan jika ada negara baru tetapi langsung terikat oleh hukum internasional, tidak dapat menjelaskan mengapa ada hukum kebiasaan, kemauan negara hanya Facon De Parler (perumpamaan), berlakunya hukum internasional tergantung dansociety of state. Sedangkan kelebihannya Praktek-praktek negara dan hanya peraturan-peraturan yang benar-benar ditaati yang menjadi hukum internasional.
Dari Sudut Teoritis Ada Dua Pandangan Tentang Hukum Internasional, yaitu:
Pandangan Voluntarisme, yaitu yang mendasarkan berlakunya hukum internasional dan bahkan persoalan ada atau tidaknya hukum internasional ini tergantung pada kemauan negara. Contoh: Teori kehendak bersama negara, teori kehendak negara.
Pandangan Objektivitas, yaitu menganggap ada dan berlakunya hukum internasional ini terlepas dari kemauan negara. Contoh: Teori hukum alam (tak berhubungan dengan negara).
Ditinjau dari aliran atau sudut pandang teori ini menguraikan
Aliran Dualisme, menurut aliran atau teori ini bahwa daya ikat hukum internasional bersumber pada kemauan negara, maka hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dan yang lainnya.
Faham Monisme, faham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari pada seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Dalam rangka pemikiran ini hukum internasional dan hukum nasioanal merupakan dua bagian yang dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia.
subjek-subjek hukum internasional yang diakui oleh masyarakat internasional, adalah:
a) Negara
Menurut Konvensi Montevideo 1949, mengenai Hak dan Kewajiban Negara, kualifikasi suatu negara untuk disebut sebagai pribadi dalam hukum internasional adalah:
e) penduduk yang tetap
f) wilayah tertentu
g) pemerintahan
h) kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain
b) Organisasi Internasional
Klasifikasi organisasi internasional menurut Theodore A Couloumbis dan James H. Wolfe :
i) Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan maksud dan tujuan yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan Bangsa Bangsa ;
j) Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan tujuan yang bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank, UNESCO, International Monetary Fund, International Labor Organization, dan lain-lain;
k) Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan global, antara lain: Association of South East Asian Nation (ASEAN), Europe Union.
c) Palang Merah Internasional
Sebenarnya Palang Merah Internasional, hanyalah merupakan salah satu jenis organisasi internasional. Namun karena faktor sejarah, keberadaan Palang Merah Internasional di dalam hubungan dan hukum internasional menjadi sangat unik dan di samping itu juga menjadi sangat strategis. Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional merupakan organisasi dalam ruang lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan oleh lima orang berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh Henry Dunant dan bergerak di bidang kemanusiaan. Kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang Merah Internasional mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang kemudian membentuk Palang Merah Nasional di masing-masing wilayahnya. Palang Merah Nasional dari negar-negara itu kemudian dihimpun menjadi Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) dan berkedudukan di Jenewa, Swiss. (Phartiana, 2003; 123)
d) Tahta Suci Vatikan
Tahta Suci Vatikan di akui sebagai subyek hukum internasional berdasarkan Traktat Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan Tahta Suci Vatikan mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran tersebut pada sisi lain dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi hukum internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya, tidak seluas tugas dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas pada bidang kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya memiliki kekuatan moral saja, namun wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci dan umat Katholik sedunia, sudah diakui secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, banyak negara membuka hubungan diplomatik dengan Tahta Suci, dengan cara menempatkan kedutaan besarnya di Vatikan dan demikian juga sebaliknya Tahta Suci juga menempatkan kedutaan besarnya di berbagai negara. (Phartiana, 2003, 125)
e) Kaum Pemberontak / Beligerensi (belligerent)
Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil oleh adalah mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional
f) Individu
Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang memberikan hak dan membebani kewajiban serta tanggungjawab secara langsung kepada individu semakin bertambah pesat, terutama setelah Perang Dunia II. Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak asasi manusia di berbagai kawasan, dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi individu sebagai subyek hukum internasional yang mandiri.
g) Perusahaan Multinasional
Perusahaan multinasional memang merupakan fenomena baru dalam hukum dan hubungan internasional. Eksistensinya dewasa ini, memang merupakan suatu fakta yang tidak bisa disangkal lagi. Di beberapa tempat, negara-negara dan organisasi internasional mengadakan hubungan dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang kemudian melahirkan hak-hak dan kewajiban internasional, yang tentu saja berpengaruh terhadap eksistensi, struktur substansi dan ruang lingkup hukum internasional itu sendiri.
Hubungan Hukum nasional dan hukum internasional
Primat hukum internasional menurut praktek internasional
Praktek hukum internasional memberikan cukup bahan atau contoh bagi kesimpuIan bahwa pada masa dan tingkat perkembangan masyarakat internasional dewasa ini hukum internasional cukup memiliki kewibawaan terhadap hukum nasional untuk mengatakan bahwa pada umumnya hukum internasional itu ditaati dan hukum nasional pada hakekatnya tunduk pada hukum internasional.
Penerapan hukum internasional di sebuah negara:
a) Teori transformasi:
l) Transformasi traktat ke dalam hukum internasional
m) Traktat bersifat konsensual; hukum nasional non-konsesnsual
n) Traktat berupa perjanjian; perundang-undangan nasional berupa perintah-perintah
b) Teori adopsi khusus:
o) Hukum internasional tidak secara langsung diberlakukan di lingkungan nasional; harus mengalami proses adopsi khusus
c) Praktik di negara-negara:
p) Jika tidak ada konflik antara hukum nasional dan internasional, di banyak Negara hukum internasional langsung diterapakan tanpa adopsi khusus
q) Jika ada konflik, perlu adopsi khusus
r) Praktik di negara-negara berbeda-beda.
Penyelesaian sengketea Internasional
Penyelesaian sengketea Internasional melalui pengadilan dapat ditempuh melalui:
1. Arbitrase Internasional
Penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase internasional adalah pengajuan sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas oleh para pihak, yang memberi keputusan dengan tidak harus terlalu terpaku pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu cara penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas yang telah disetujui sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa. Hal-hal yang penting dalam arbitrase adalah :
a) perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase, dan
b) Sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum. (Burhan Tsani, 1990; 211)
Secara esensial, arbitrase merupakan prosedur konsensus, karenanya persetujuan para pihaklah yang mengatur pengadilan arbitrase.
Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator atau komisi bersama antar anggota-anggota yang ditunjuk oleh para pihak atau dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang diajukan oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain.Pengadilan arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel hakim” atau arbitrator yang dibentuk atas dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada. Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan compromis (kompromi) yang memuat:
a) persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan arbitrase;
b) metode pemilihan panel arbitrase;
c) waktu dan tempat hearing (dengar pendapat);
d) batas-batas fakta yang harus dipertimbangkan, dan;
e) prinsip-prinsip hukum atau keadilan yang harus diterapkan untuk mencapai suatu kesepakatan. (Burhan Tsani, 1990, 214)
Masyarakat internasional sudah menyediakan beberapa institusi arbitrase internasional, antara lain:
a) Pengadilan Arbitrase Kamar Dagang Internasional (Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce) yang didirikan di Paris, tahun 1919;
b) Pusat Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Internasional (International Centre for Settlement of Investment Disputes) yang berkedudukan di Washington DC;
c) Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Asia (Regional Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di Kuala Lumpur, Malaysia;
d) Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Afrika (Regional Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di Kairo, Mesir. (Burhan Tsani; 216)
2. Pengadilan Internasional / Mahkamah Internasional
Pada permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa mendorong masyarakat internasional untuk membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent, yaitu mulai dari komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan bebas dari kehendak negara-negara yang bersengketa.
Pasal 14 Liga Bangsa-Bangsa menugaskan Dewan untuk menyiapkan sebuah institusi Mahkamah Permanen Internasional. Namun, walaupun didirikan oleh Liga Bangsa-Bangsa, Mahkamah Permanen Internasional, bukanlah organ dari Organisasi Internasional tersebut. Hingga pada tahun 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia II, maka negara-negara di dunia mengadakan konferensi di San Fransisco untuk membentuk Mahkamah Internasional yang baru.
Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini, pada dasarnya hanyalah merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional yang lama, karena banyak nomor-nomor dan pasal-pasal yang tidak mengalami perubahan secara signifikan.
Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai kewenangan untuk:
a) melaksanakan “Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa, yang didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa
b) memberikan “Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat nasehat. Advisory Opinion tidaklah memiliki sifat mengikat bagi yang meminta, namun biasanya diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu keputusan wajib yang mempunyai kuasa persuasive kuat (Burhan Tsani, 1990; 217)
Sedangkan, menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah:
a) Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum, maupun khusus;
b) Kebiasaan internasional (international custom);
c) Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab;
d) Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan.
Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex aequo et bono, yaitu didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan berdasarkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar negara-negara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya final, tidak dapat banding dan hanya mengikat para pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara mayoritas.
Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara, namun semua jenis sengketa dapat diajukan ke Mahkamah Internasional.
Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh salah satu pihak secara unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika tidak ada persetujuan, maka perkara akan di hapus dari daftar Mahkamah Internasional, karena Mahkamah Internasional tidak akan memutus perkara secara in-absensia (tidak hadirnya para pihak).
3. Peradilan-Peradilan Lainnya di Bawah Kerangka Perserikatan Bangsa-bangsa
a) Mahkamah Pidana Internasional (International Court of Justice/ICJ
Selain Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda, saat ini Perserikatan Bangsa-bangsa juga sedang berupaya untuk menyelesaikan “hukum acara” bagi berfungsinya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC), yang statuta pembentukannya telah disahkan melalui Konferensi Internasional di Roma, Italia, pada bulan Juni 1998. Statuta tersebut akan berlaku, jika telah disahkan oleh 60 negara.
Berbeda dengan Mahkamah Internasional, yurisdiksi (kewenangan hukum) Mahkamah Pidana Internasional ini, adalah di bidang hukum pidana internasional yang akan mengadili individu yang melanggar Hak Asasi Manusia dan kejahatan perang, genosida (pemusnahan ras), kejahatan humaniter (kemanusiaan) serta agresi.
Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak secara otomatis terikat dengan yurisdiksi Mahkamah ini, tetapi harus melalui pernyataan mengikatkan diri dan menjadi pihak pada Statuta Mahkamah Pidana Internasional. (Mauna, 2003; 263)
b) Mahkamah Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia (The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY)
Melalui Resolusi Dewan Keamanan Nomor 827, tanggal 25 Mei 1993, Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, yang bertempat di Den Haag, Belanda. Tugas Mahkamah ini adalah untuk mengadili orang-orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran-pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional yang terjadi di negara bekas Yugoslavia. Semenjak Mahkamah ini dibentuk, sudah 84 orang yang dituduh melakukan pelanggaran berat dan 20 diantaranya telah ditahan.
Pada tanggal 27 Mei 1999, tuduhan juga dikeluarkan terhadap pemimpin-pemimpin terkenal, seperti Slobodan Milosevic (Presiden Republik Federal Yugoslavia), Milan Milutinovic (Presiden Serbia), yang dituduh telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan melanggar hukum perang. (Mauna, 2003; 264)
c) Mahkamah Kriminal untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda)
Mahkamah ini bertempat di Arusha, Tanzania dan didirikan berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 955, tanggal 8 November 1994. tugas Mahkamah ini adalah untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku kejahatan pembunuhan missal sekitar 800.000 orang Rwanda, terutama dari suku Tutsi. Mahkamah mulai menjatuhkan hukuman pada tahun 1998 terhadap Jean-Paul Akayesu, mantan Walikota Taba, dan juga Clement Kayishema dan Obed Ruzindana yang telah dituduh melakukan pemusnahan ras (genosida) . Mahkamah mengungkap bahwa bahwa pembunuhan massal tersebut mempunyai tujuan khusus, yaitu pemusnahan orang-orang Tutsi, sebagai sebuah kelompok suku, pada tahun 1994.
Walaupun tugas dari Mahkamah Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Mahkamah Kriminal untuk Rwanda belum selesai, namun Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah menyiapkan pembentukan mahkamah- untuk Kamboja untuk mengadili para penjahat perang di zaman pemerintahan Pol Pot dan Khmer Merah, antara tahun 1975 sampai dengan 1979 yang telah membunuh sekitar 1.700.000 orang.
Jika diperkirakan bahwa tugas Mahkamah Peradilan Yugoslavia dan Rwanda telah menyelesaikan tugas mereka, maka Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengeluarkan resolusi untuk membubarkan kedua Mahkamah tersebut, yang sebagaimana diketahui memiliki sifat ad hoc (sementara). (Mauna, 2003; 265)